(Dipresentasikan oleh Heru Suherman Lim di Konferensi Wanita Buddhis Internasional Sakyadhita di Yogyakarta, 23 Juni 2015)
Dr. Parwati Supangat |
Apa yang
langsung terpikir oleh kita jika mendengar nama “Parwati”. Mungkin bagi penggemar sinetron berseri
Mahadewa yang belakangan ini sangat populer akan langsung mengkaitkan Parwati
dengan nama seorang dewi besar dalam Mitologi Hindu yang merupakan putri dari
seorang raja gunung himalaya dan juga istri dari Mahadewa Siwa serta ibunda
dari Ganesha. Dalam bahasa Sansekerta,
Parwati berarti “mata air pegunungan” yang dalam berbagai foto, dewi Parwati
digambarkan memegang bunga teratai.
Tetapi dalam tulisan ini tidaklah membahas Parwati sebagai Dewi dalam
mitologi Hindu tetapi seorang Srikandi
Buddhis asal Solo yaitu Parwati yang terlahir di bumi Nusantara, Indonesia
di Keraton Sala pada 1 Mei 1932 dari pasangan (Alm) Kanjeng Raden
Tumenggung (KRT) Widyonagoro sebagai Bupati Keraton dengan (Alm) Raden
Ajeng (RA) Soewiyah yang adalah seorang Guru Sekolah Keraton sehingga tentunya
mau atau tidak, gelar RA melekat erat dalam dirinya. Walaupun terlahir dengan darah biru dalam
keluarga keraton tidaklah menciptakan sebuah tembok pemisah yang tebal dan
tinggi yang membuat jarak antaranya dengan para sahabat. Keramahannya selalu tercermin dengan senyum
manis di wajahnya dan selalu duluan menyapa orang yang bertemu dengannya.
Parwati
terlahir dalam keluarga Buddhis dan bervegetarian sejak kecil, ia masih ingat
ketika masa kecilnya mereka dididik dan dilatih dengan budaya jawa yang luhur,
mulai dari harus memakai kain jika masuk keraton, puasa senin kamis, makan
hanya nasi putih tanpa lauk (mutih), nyerowot (hanya makan buah), yang
kesemuanya itu bermakna dalam membina jasmani untuk mengendalikan keinginan. Sebulan sekali didampingi oleh mbok emban (baby sitter) tidur di bawah
pohon Sawo untuk melatih mental supaya tidak selalu mau enaknya saja dan juga
dapat bersatu dengan alam sebagai tempat untuk hidup bersama.
Minat membaca
yang ditumbuhkan sejak kecil dari ibunya yang juga sangat suka membaca termasuk
tulisan Ibu Kartini yang membuat jalan pemikiran ibu maju sekali dan tergerak
dalam pemikiran emansipasi sehingga semua anaknya didik untuk maju. Dengan berapi-api Parwati menyampaikan “Ibu
sangat menginginkan anak perempuannya sekolah ke luar negeri dan lebih maju
darinya. Ibu mencari informasi dari
teman-temannya bagaimana agar saya dapat bersekolah di luar negeri, tetapi
teman-temannya malah mengejek dan mengatakan, gampang itu, kawinkan saja
Parwati dengan orang departemen luar negeri, nanti juga akan ke luar
negeri. Tetapi dengan tegas ibu menolak
dan menjawab dalam bahasa Belanda : Tidak,
anak saya harus ke luar negeri sebagai Nona”. Kekuatan doa seorang ibu sangat kuat dan luar
biasa sehingga pada tahun 1958, Parwati berangkat ke Amerika sebagai seorang
nona untuk mengambil Master setelah berhasil lulus tes-tes yang diadakan oleh
Universitas Gajah Mada.
Parwati juga
aktif dalam kegiatan di komunitas Teosofi yang mengantarkannya bertemu dengan
suaminya Prof. Dr. Soepangat Soemarto, guru besar Institut Teknologi Bandung
dan Dekan Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan Universitas
Trisakti, Jakarta dan juga Tee Boan Ann yang kemudian menjadi biksu Ashin
Jinarakkhita (1923-2002), dimana mereka bertiga memiliki prinsip hidup yang
sama yaitu di antaranya vegetarian, harmonis dan kesederhanaan. Parwati mengatakan bahwa setiap menjelang
Waisak, ia selalu teringat dan mengenang Almarhum gurunya itu, yang merupakan
putra Indonesia pertama yang menjadi biksu dan menjadi pelopor kebangkitan
kembali agama Buddha di Indonesia sejak kejatuhan keprabuan Majapahit. Tahun 1953, Tee Boan Ann pulalah yang
berinisiatif dan berhasil mengadakan Waisak pertama di Candi Borobudur. Saat itulah sebagai lonceng yang membangunkan
agama Buddha yang tidur selama kurang lebih 500 tahun di bumi nusantara ini.
Srikandi
Buddhis asal Solo demikian gelar yang diberikan oleh Maha Biksu Ashin
Jinarakkhita kepadanya memang tidaklah berlebihan, dan dikuatkan oleh Maha
Pandita Phoa Krisnaputra yang mengatakan bahwa Parwati adalah seorang sahabat
yang jujur dan sederhana, walaupun badannya kecil tetapi nyalinya besar, belum
tentu laki-laki punya keberanian seperti Parwati. Selain itu menurutnya juga, Parwati adalah
seorang yang cerdas, suka menari, pribadinya teguh, dan untuk membela kebenaran
yang dia yakini, dia berani melawan arus.
Selain
aktif sebagai Maha Upasika Pandita, Parwati selalu aktif membantu tugas-tugas
pelayanan biksu. Menurutnya, apa yang
dilakukan biksu juga dapat dilakukan pandita.
Bedanya biksu tinggal di wihara dan berselibat (tidak menikah), pandita
adalah bapak atau ibu rumah tangga. “Di Buddhayana kami memiliki lebih dari 500
wihara, tetapi hanya ada sekitar 100 biksu, tentunya tidak cukup untuk melayani
umat maka pandita dapat menggantikan tugas-tugas biksu, seperti memimpin
upacara perkawinan atau pelepasan jenasah.”
Praktik
keseharian dalam ucapan dan perbuatan yang berdasarkan Buddhisme selalu
dilakoni oleh wanita yang selalu berkebaya lengkap dengan rambut disanggul dan
hobi naik angkutan umum ini. Menurutnya
di Indonesia sangat perlu mendapat pencerahan yang berhubungan dengan androgoni
yaitu kesadaran tentang hormon karena dalam setiap orang memiliki sisi maskulin
dan feminim sekaligus sehingga pria dan wanita memiliki hak yang sama, hak
untuk dihargai baik dalam bidang tenaga kerja, legislatif maupun teologi.
Kesadaran akan
kesetaraan Gender dan emansipasi perempuan selalu menjadi topik utama baik
dalam tulisan maupun seminar oleh Parwati yang pernah menjabat sebagai Ketua
Umum Wanita Buddhis Indonesia. Dalam
setiap event, ia menyakini bahwa kesamaan hak antara pria dan wanita sudah
dilaksanakan jauh-jauh hari sebelumnya bahkan dari zaman Buddha dan Buddha
menyetujui emansipasi. Hal ini terbukti dengan adanya penahbisan Prajapati Gautami, Ibu
asuh Pangeran Siddhartha bersama 500 bangsawan menjadi Biksuni. Sebelum Buddha mengajarkan Dharma, wanita
selalu dianggap lebih rendah dan tidak berharga. Orang sangat senang bila mendapat anak
laki-laki, tetapi sedih dan malu bila mendapat anak perempuan. Begitu juga di
Tiongkok, paling hebat kalau punya anak laki-laki. Ratu Malika kecewa ketika melahirkan seorang
putri. Buddha menghibur, “Kenapa harus kecewa, bukankah wanita
yang akan mendidik bangsa. Bukankah ini
hal yang mulia”. Jadi Buddha termasuk
tokoh yang mempelopori pemikiran emansipasi, juga masalah reformasi dan
demokrasi.
Doktor lulusan
Universitas Padjajaran tahun 1986 yang mempunyai hobi menari ini menjelaskan
bahwa sedari kecil ketika masih di Keraton, ia sudah diajari tari bedhoyo, waktu itu saya belum mengerti
makna-makna yang tersirat di dalamnya, hanya melakoni gerakan tangan, kaki dan
kepala. Saya sering menari ketika kuliah
di Katholieke Universiteit Lueven, Belgia dan selalu mendapat sambutan antusias
dari orang asing tetapi sedihnya malah kurang mendapat sambutan di tanah
air. Belakangan setelah mempelajari
Buddhisme, saya baru mengerti bahwa semua itu adalah ajaran tentang
pengendalian diri, mata harus selalu melihat ke pucuk hidung (top of the nose), tidak boleh plarak plirik dan siaga dalam meditative posture. Kita harus sadar sepenuhnya akan setiap gerakan
tangan yang ternyata adalah mudra-mudra yang terdapat diajarkan oleh Buddha seperti
dhammacakra mudra (mudra pemutaran
dharma), abhaya mudra (mudra tiada
bahaya) dan mudra-mudra lainnya.
Selain itu
juga, ada sebuah kidung yang selalu dinyanyikan oleh mbok emban ketika malam tiba dan hendak tidur sehingga sampai saat
ini pun masih lekat dalam ingatan yaitu “kidung penjaga malam” yang liriknya sebagai
berikut :
Ana
Kidung rumeksa ing wengi
Teguh
ayu luputo ing lara
Luputa
bilahi kabeh
Djin
setan daban purin
Panaluan
tau ana wani
Miwaba
panggawe ala gunane wong luput
Geni
atenahan tirto
Maling
adok tan ana wani ing kami
Guno
duduk pan sirna
Yang artinya adalah :
Ada suatu syair yang menjaga malam
Indah jauhkan dari sakit
Jauhkan dari segala bencana/derita
Jin dan setan tak ada yang mau
Makhluk jahat tak ada yang berani
Demikian juga perbuatan jahat,
guna-guna akan hilang
Api maupun air
Pencuri jauh tak ada yang berani pada
kamu
Semua guna-guna
dan bahaya akan hilang.
Para
wanita seharusnya meningkatkan derajat wanita dari semua segi terutama dalam
bidang ketuhanan. Jadi bukan hanya tuntutan
emansipasi fisik saja, juga bukan hanya mental tetapi segi spiritual karena
manusia terdiri dari lima aspek yaitu fisik, indria, perasaan, pikiran, dan ketuhanan. Jika hanya
kepentingan fisik sangatlah tidak cukup tetapi harus sampai kepada tataran
tertinggi yaitu Ketuhanan. Bukan hanya
demi bisa makan, beli baju dan kebutuhan fisik lainnya saja. Hal yang penting juga adalah menjauhkan
fanatisme berlebihan, setiap orang bisa belajar dan berlatih sampai dengan tingkat
master dan kamu boleh pilih guru mana
saja tetapi tidak boleh fanatik berlebihan, jangan menganggap ajarannya atau
alirannya adalah yang tertinggi, terhebat dan terbenar karena jika sebenarnya
ketika tiba pada tataran master tidak
ada lagi perbedaan kelas-kelas begitu lagi karena tujuannya adalah satu yaitu
pencapaian tingkat Ketuhanan.
Demikianlah ujarannya ketika dimintakan pesan untuk wanita buddhis
Indonesia.