Minggu, 04 November 2018

Kuzoozangpo La


Kuzoozangpo La
HSL with Gho
Salam khas Bhutan dalam Bahasa Dzongkha yang berarti Ni hao dalam Bahasa Mandarin atau Annyong Haseo dalam Bahasa Korea dan Salam atau Halo dalam Bahasa Indonesia.  Salam ini dapat diucapkan kapan saja tanpa batasan waktu.


Donderma Buddha
Waktu Bhutan lebih lambat 1 jam 15 menit dari waktu Jakarta.  Pagi ini, hari kedua di Bhutan beberapa dari kami sepakat untuk jalan pagi sebelum sarapan.  Jam 6, kami pun mulai melangkah menembus dinginnya udara pagi dan menuju kearah suara genta yang sudah berbunyi sejak jam 5, ternyata terdapat sebuah Lhakhang (wihara) yang sudah mulai sibuk.  Aktivitas sudah tampak walau langit belum terang sekali.  Para Lama (biksu) sudah mulai memanjatkan mantra-mantra dengan iringan tambur dan para umat memutar roda doa (prayer wheel) dengan sadar penuh.  Roda Doa berbentuk silinder atau tabung yang di bagian luar dan dalamnya terdapat tulisan mantra Om Mani Padme Hum. Konsep dari pemutaran roda doa ini adalah manifestasi fisik dari pemutaran roda Dharma.   
Prayer Wheel 
Umat Tantra atau Vajrayana menyakini roda doa dapat digunakan untuk mengumpulkan kebajikan, kebijaksaaan dan dapat memimalisir energy negatif.  Senada dengan yang disampaikan oleh Zopa Rimpoche yaitu “
a prayer wheel has the capacity to completely transform a place, which becomes ...peaceful, pleasant, and conducive to the mind. Simply touching a prayer wheel is said to bring great purification to negative karmas and obscurations. 

Little Lama
Di wihara ini kami bertemu dengan lama-lama cilik berjubah merah dan sahabat kami berkesempatan berdana peralatan belajar seperti pensil, penghapus dan rautan.  Mereka menerimanya dengan malu-malu dan kami mengajak mereka untuk foto bersama.


Donderma Buddha
Setelah sarapan, kami check out dari Best Thimphu Hotel dan menuju Donderma Buddha.  Secara harafiah, Donderma artinya Destructible atau tak dapat dihancurkan dan Buddha merujuk kepada manusia tercerahkan.  Sehingga Donderma Buddha dapat diartikan Buddha yang tak dapat dihancurkan atau dirusak.  Mayoritas penduduk Bhutan beragama Buddha dan sangat patuh dengan ajarannya.  Donderma Buddha terletak di atas bukit dengan jalan berkelok dan berliku tibalah kita di TKP.  Disambut oleh gapura indah dan Chorten (stupa).  Buddha Rupang ini sangat besar dengan tinggi 169 kaki disebut sebagai yang terbesar di dunia.  (sebenarnya saya merasa Tian Tan Buddha di Hongkong lebih besar).  Terbuat dari perunggu dilapisi emas menghadap ke timur dengan mudra bhumisparsha (bumi menjadi saksi).  Persis di bawah Buddha rupang ini terdapat ruangan Dharmasala yang cukup besar dengan ChenRezig, Avalokitesvara bermuka empat sebagai obyek pemujaan dan Buddha Rupang kecil sebanyak 125.000 buah mengelilingi dindingnya.  Dharmasala indah sekali dengan lukisan-lukisan di dinding dan mandala di langit-langit.  Di Bhutan dilarang mengambil foto atau video di dalam Wihara. 



Tashichho (Thimphu) Dzong
Dzong adalah sebutan untuk gedung besar dengan alun-alun luas tempat berlangsungnya acara kenegaraan dan upacara keagamaan. Kompleks pemerintahan ini dibuka untuk umum pada masa festival dan menjadi kediaman raja dan ratu Bhutan.

Tiap akhir September hingga awal Oktober, di sini berlangsung Thimphu Festival atau dikenal juga sebagai Thimphu Dzong. Festival ini merupakan perayaan tahunan. Semua warga, tua muda, berkumpul di alun- alun Dzong, menikmati tari-tarian sakral yang dibawakan oleh para biarawan, yang bertujuan untuk membersihkan manusia dari kotoran-kotoran bathin.
Disambut oleh tiang bendera tinggi dan bendera besarnya yang berkibar gagah diantara hembusan angin.  Bendera Bhutan dibagi menjadi dua bagian oleh garis diagonal dengan warna kuning yang melambangkan raja dan warna oranye yang melambangkan para Biksu.  Di tengahnya terdapat Naga putih yang di keempat kakinya menggengam permata yang berarti simbol kemakmuran dan kesempurnaan.

Berjalan melewati tiang bendera dengan 2 penjaga di posnya dan tibalah di pintu gerbang pertama di sebelah kiri, menurut guide pintu ini hanya boleh dilewati oleh raja dan tamu negara sehingga kita masuk melalui pintu berikutnya.  Pengamanan cukup ketat, tas harus melewati screening melalui alat dan kami melewati metal detector.  Saat ini, Dzong adalah kantor administratif pemerintahan di satu bagian dan bagian lainnya adalah wihara lengkap dengan tempat pendidikan dan penginapannya.  Dekorasi khas Bhutan sangat terasa di sini, dimulai dari lukisan dindingnya, rupang bodhisatwa pelindung dharma yang dibuat dengan kombinasi warna yang mencolok tetapi sangat halus pengerjaannya sehingga indah sekali mahakarya ini. 

Thimphu Dzong
Pengunjung tidak diizinkan untuk masuk ke bagian kantor administratif pemerintahan sehingga hanya dapat berfoto dan mengunjungi dharmasala dengan rupang Buddha, guru Padmasambhava dan Shabdrung Ngawang Namgyal.  Di dalam dharmasala tidak izinkan mengambil foto maupun video.  Ketika kami tiba, para lama kecil  sedang duduk dan membaca mantra, ada yang menggunakan tambur khas Vajrayana, ada yang memutar prayer wheel dan ada yang hanya membaca dari kitab.  Mereka duduk di depan tiang dan saling berhadapan sehingga kehadiran kita untuk bernamaskara sama sekali tidak mengganggu kekhikmatan mereka memanjatkan mantra.  Jika anda beruntung, anda akan bertemu dengan lama dan mereka dengan senang hati akan memberikan blessing kepada kita dengan cara menuang air berkah melalui teko khasnya dan kita meletakkan telapak kanan diatas telapak tangan kiri untuk menerimanya, diminum sedikit dan dibasuh di kepala. 

Saat ini, Thimphu adalah ibukota Bhutan.  Sebelumnya adalah Punaka.  Thimphu bersuhu lebih rendah dibandingkan dengan Punaka sehingga pada musim dingin, raja bertempat tinggal di Punaka sedangkan jika musim panas, raja bertempat tinggal di Thimphu. 

Shabdrung
Guru Padmasambhava
Guru Padmasambhava dan Shabdrung Ngawang Namgyal adalah dua orang yang sangat dihormati di Bhutan.  Masyarakat buddhis Bhutan mengganggap guru Padmasambhava sebagai Buddha kedua setelah Sakyamuni Buddha.  Padmasambhava artinya Ia yang terlahir dari Bunga Teratai, beliau dianggap membawa masuk pengaruh Agama Buddha Mazhab Tantra (Tantric) ke Bhutan dan Tibet pada abad ke 8. Di kedua tempat tersebut, ia lebih sering dikenal dengan sebutan Guru Rinpoche ("Guru Mulia").  Sedangkan Shabdrung adalah seorang lama Buddha Tibet yang mempersatukan Bhutan sebagai sebuah negara. Selain menyatukan berbagai penguasa yang saling berseteru pada tahun 1630-an, ia juga berupaya menciptakan identitas budaya Bhutan yang terpisah dari budaya Tibet.  Mudah saja membedakan rupang beliau dengan yang lain karena selalu ditampilkan dengan lama berjenggot tebal.



Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah mungkin keyakinan atau pemahaman mereka berbeda dengan apa yang telah kita baca atau pahami tetapi jangan pernah menunjukkan ketidaksenangan anda apalagi berdebat tentang dokrin yang berlaku di tempat itu.  Selalu ingat akan peribahasa yang mengajarkan dimana tanah dipijak, disana langit dijunjung.  Dan satu lagi yang sangat sering saya katakan adalah hargailah perbedaan karena orang yang berbeda jalan dengan kita belum tentu tersesat. 

Tidak ada komentar:

Mantra Bodhisatwa Tara

Bodhisatwa Tara  "om tare tuttare ture soha" Bodhisatwa Tara, yang pada mulanya berasal dari air mata yang diteteskan oleh Bodh...