Paro, I’m coming (again)
HSL19102018
Memasuki wilayah udara Bhutan |
Pesawat bermanuver |
Sebuah tips kecil, jika anda terbang dari Kathmandu menuju Paro maka mintalah seat di di barisan kiri untuk menikmati indahnya jajaran pegunungan Himalaya yang bersalju abadi dan sebaliknya duduklah di kanan jika pulang dari Paro. Saya tidak kaget ketika membaca sebuah artikel di Majalah Tashi Deleg yang memuat bahwa pelayanan di Bandara Tribhuvan adalah yang terburuk di planet ini. Ribet, tidak efisien dan tentunya menjengkelkan, tapi tidak apalah, orang bijak mengatakan hanya orang yang merasakan pahitnya penderitaan lah yang dapat menikmati manisnya kebahagiaan.
Paro Airport |
Sejam kemudian, kami tiba di Bandara Paro,
Bhutan. Ini kedua kalinya kakiku
menginjak bumi Bhutan yang diklaim sebagai Negara berpenduduk paling bahagia di
dunia. Bhutan tidak main-main dengan
klaim ini, mereka membuktikannya bahwa predikat yang diberikan oleh PBB itu
bukanlah sebuah slogan saja. Pemandangan
indah dan udara segar adalah yang pertama kali menyambut kita dengan ramahnya
dan selanjutnya disambut oleh senyuman ramah dari Raja Jigme
Khesar Namgyel Wangchuck dan Ratu Jetsun Pema. Kami pun
berfoto bersamanya. (dibaca poster raja ). Dilanjutkan dengan
pengurusan dokumen imigrasi, Bhutan menerapkan sistem visa Online, jadi jika
mengganti paspor yang sudah terdaftar maka paspor itu harus dibawa. Bandara ini jauh dari kesan megah apalagi
mewah. Sederhana tapi tetap indah
diwarnai dengan senyuman manis dari para petugas berkostum Gho (laki-laki) dan
Kira (wanita). Aura kebahagiaan
berhamburan di tempat ini. Siap-siap lah menampung dan membawanya pulang
sebagai oleh-oleh.
Thimphu, Ibukota Bhutan
Dari Bandara, kita langsung menuju ke Thimphu, Ibukota Bhutan. Perjalanan darat kurang dari 50 km tetapi membutuhkan
waktu 1,5 – 2 jam. Jangan heran, karena selama
di Bhutan bertemu dengan tanah datar adalah sebuah keajaiban. Walaupun Bhutan disebut sebagai the land of the
Dragon tetapi mereka tidak memiliki bangunan pencakar langit, maksimal hanya 7
tingkat sesuai aturan yang berlaku. Masih
banyak bangunan beratap seng dan anda pasti kagum melihat banyak bercak-bercak berwarna
merah di atapnya. Coba diterawang dengan
lebih teliti, apa yang penyebab berwarna merah itu? Ooo ternyata Cabe, yah
mereka sangat menyukai cabe dan menjemurnya di atap.
Ema Datshi |
Cobalah kuliner nasionalnya dalam Bahasa Dzongkha
disebut Ema Datshi yang pasti mudah ditemukan dalam setiap sajian makan. Ema berarti cabe (chili), Datshi berarti keju
(cheese), jadi Ema Datshi berarti Chili Chese atau Cabe Keju. Terdengar aneh dan tidak lazim tapi silakan
dicoba, mungkin anda jatuh cinta kepadanya.
Dan jangan lupa, setiap foto sebutlah Ema Datshiii…
Sesampainya
di Thimphu, kami mengunjungi Tashichho atau Thimphu Dzong. Sayangnya Dzong itu sudah tutup pada jam
17.00. sehingga kami langsung melanjutkan untuk makan malam dan check in
hotel. Eh, belum selesai sampai di sini
lho. Ternyata hotel kita terletak di
posisi strategis dan pusat perbelanjaan sehingga malam-malam kami bergentayangan
di pusat perbelanjaan itu dan berhasil memburu buah-buah organik segar tanpa
pestisida. Kami berjaket ria karena suhu saat itu
menyentuh angka 2 derajat. Sempat
mencoba Druk Beer, wah ternyata cukup keras karena beralkohol sampai 8%. Btw Druk
berarti Dragon atau Naga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar