Kuzoozangpo La
|
HSL with Gho |
Salam khas Bhutan dalam Bahasa Dzongkha yang berarti Ni hao dalam Bahasa
Mandarin atau Annyong Haseo dalam Bahasa Korea dan Salam atau Halo dalam Bahasa
Indonesia. Salam ini dapat diucapkan
kapan saja tanpa batasan waktu.
Donderma Buddha
Waktu Bhutan lebih lambat 1 jam 15 menit dari waktu
Jakarta. Pagi ini, hari kedua di Bhutan beberapa
dari kami sepakat untuk jalan pagi sebelum sarapan. Jam 6, kami pun mulai melangkah menembus
dinginnya udara pagi dan menuju kearah suara genta yang sudah berbunyi sejak
jam 5, ternyata terdapat sebuah Lhakhang (wihara) yang sudah mulai sibuk. Aktivitas sudah tampak walau langit belum
terang sekali. Para Lama (biksu) sudah
mulai memanjatkan mantra-mantra dengan iringan tambur dan para umat memutar
roda doa (prayer wheel) dengan sadar penuh.
Roda Doa berbentuk silinder atau tabung yang di bagian luar dan dalamnya
terdapat tulisan mantra Om Mani Padme Hum. Konsep dari pemutaran roda doa ini
adalah manifestasi fisik dari pemutaran roda Dharma.
|
Prayer Wheel |
Umat
Tantra atau Vajrayana menyakini roda doa dapat digunakan untuk mengumpulkan
kebajikan, kebijaksaaan dan dapat memimalisir energy negatif. Senada dengan yang disampaikan oleh Zopa
Rimpoche yaitu “a prayer wheel has the capacity to completely transform a place, which
becomes ...peaceful, pleasant, and conducive to the mind. Simply touching a prayer
wheel is said to bring great purification to negative karmas and obscurations.”
|
Little Lama |
Di wihara ini kami bertemu dengan lama-lama cilik berjubah
merah dan sahabat kami berkesempatan berdana peralatan belajar seperti pensil,
penghapus dan rautan. Mereka menerimanya
dengan malu-malu dan kami mengajak mereka untuk foto bersama.
|
Donderma Buddha |
Setelah sarapan, kami check out dari Best Thimphu
Hotel dan menuju Donderma Buddha. Secara
harafiah, Donderma artinya Destructible atau tak dapat dihancurkan dan Buddha
merujuk kepada manusia tercerahkan. Sehingga
Donderma Buddha dapat diartikan Buddha yang tak dapat dihancurkan atau
dirusak. Mayoritas penduduk Bhutan
beragama Buddha dan sangat patuh dengan ajarannya. Donderma Buddha terletak di atas bukit dengan
jalan berkelok dan berliku tibalah kita di TKP.
Disambut oleh gapura indah dan Chorten (stupa). Buddha Rupang ini sangat besar dengan tinggi 169
kaki disebut sebagai yang terbesar di dunia. (sebenarnya saya merasa Tian Tan Buddha di
Hongkong lebih besar). Terbuat dari
perunggu dilapisi emas menghadap ke timur dengan mudra bhumisparsha (bumi
menjadi saksi). Persis di bawah Buddha rupang
ini terdapat ruangan Dharmasala yang cukup besar dengan ChenRezig,
Avalokitesvara bermuka empat sebagai obyek pemujaan dan Buddha Rupang kecil
sebanyak 125.000 buah mengelilingi dindingnya.
Dharmasala indah sekali dengan lukisan-lukisan di dinding dan mandala di
langit-langit. Di Bhutan dilarang
mengambil foto atau video di dalam Wihara.
Tashichho (Thimphu)
Dzong
Dzong adalah sebutan untuk gedung besar dengan alun-alun luas
tempat berlangsungnya acara kenegaraan dan upacara keagamaan. Kompleks
pemerintahan ini dibuka untuk umum pada masa festival dan menjadi kediaman raja
dan ratu Bhutan.
Tiap akhir September hingga awal Oktober, di sini berlangsung
Thimphu Festival atau dikenal juga sebagai Thimphu Dzong. Festival ini
merupakan perayaan tahunan. Semua warga, tua muda, berkumpul di alun- alun
Dzong, menikmati tari-tarian sakral yang dibawakan oleh para biarawan, yang
bertujuan untuk membersihkan manusia dari kotoran-kotoran bathin.
Disambut oleh tiang bendera tinggi dan bendera besarnya yang
berkibar gagah diantara hembusan angin.
Bendera Bhutan dibagi menjadi dua bagian oleh garis diagonal dengan
warna kuning yang melambangkan raja dan warna oranye yang melambangkan para
Biksu. Di tengahnya terdapat Naga putih
yang di keempat kakinya menggengam permata yang berarti simbol kemakmuran dan
kesempurnaan.
Berjalan melewati tiang bendera dengan 2 penjaga di posnya
dan tibalah di pintu gerbang pertama di sebelah kiri, menurut guide pintu ini
hanya boleh dilewati oleh raja dan tamu negara sehingga kita masuk melalui
pintu berikutnya. Pengamanan cukup
ketat, tas harus melewati screening melalui alat dan kami melewati metal
detector. Saat ini, Dzong adalah kantor administratif
pemerintahan di satu bagian dan bagian lainnya adalah wihara lengkap dengan
tempat pendidikan dan penginapannya. Dekorasi
khas Bhutan sangat terasa di sini, dimulai dari lukisan dindingnya, rupang
bodhisatwa pelindung dharma yang dibuat dengan kombinasi warna yang mencolok
tetapi sangat halus pengerjaannya sehingga indah sekali mahakarya ini.
|
Thimphu Dzong |
Pengunjung tidak diizinkan untuk masuk ke bagian kantor administratif
pemerintahan sehingga hanya dapat berfoto dan mengunjungi dharmasala dengan
rupang Buddha, guru Padmasambhava dan Shabdrung Ngawang Namgyal. Di dalam dharmasala tidak izinkan mengambil
foto maupun video. Ketika kami tiba, para
lama kecil sedang duduk dan membaca
mantra, ada yang menggunakan tambur
khas Vajrayana, ada yang memutar prayer wheel dan ada yang hanya membaca dari
kitab. Mereka duduk di depan tiang dan
saling berhadapan sehingga kehadiran kita untuk bernamaskara sama sekali tidak
mengganggu kekhikmatan mereka memanjatkan mantra. Jika anda beruntung, anda akan bertemu dengan
lama dan mereka dengan senang hati akan memberikan blessing kepada kita dengan
cara menuang air berkah melalui teko khasnya dan kita meletakkan telapak kanan
diatas telapak tangan kiri untuk menerimanya, diminum sedikit dan dibasuh di
kepala.
Saat ini, Thimphu adalah ibukota Bhutan. Sebelumnya adalah Punaka. Thimphu bersuhu lebih rendah dibandingkan
dengan Punaka sehingga pada musim dingin, raja bertempat tinggal di Punaka
sedangkan jika musim panas, raja bertempat tinggal di Thimphu.
|
Shabdrung |
|
Guru Padmasambhava |
Guru Padmasambhava dan Shabdrung Ngawang Namgyal adalah dua
orang yang sangat dihormati di Bhutan.
Masyarakat buddhis Bhutan mengganggap guru Padmasambhava sebagai Buddha
kedua setelah Sakyamuni Buddha. Padmasambhava
artinya Ia yang terlahir dari Bunga Teratai, beliau dianggap membawa masuk
pengaruh Agama Buddha Mazhab Tantra (Tantric) ke Bhutan dan Tibet pada abad ke
8. Di kedua tempat tersebut, ia lebih sering dikenal dengan sebutan Guru
Rinpoche ("Guru Mulia").
Sedangkan Shabdrung adalah seorang lama Buddha Tibet yang mempersatukan
Bhutan sebagai sebuah negara. Selain menyatukan berbagai penguasa yang saling
berseteru pada tahun 1630-an, ia juga berupaya menciptakan identitas budaya
Bhutan yang terpisah dari budaya Tibet. Mudah
saja membedakan rupang beliau dengan yang lain karena selalu ditampilkan dengan
lama berjenggot tebal.
Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah mungkin keyakinan
atau pemahaman mereka berbeda dengan apa yang telah kita baca atau pahami
tetapi jangan pernah menunjukkan ketidaksenangan anda apalagi berdebat tentang
dokrin yang berlaku di tempat itu. Selalu
ingat akan peribahasa yang mengajarkan dimana tanah dipijak, disana langit
dijunjung. Dan satu lagi yang sangat
sering saya katakan adalah hargailah perbedaan karena orang yang berbeda jalan
dengan kita belum tentu tersesat.